Eksploitasi Wilayah Blok Cepu sudah setahun lebih dilaksanakan. Saat ini Produksinya baru mencapai 13.000 barel per hari, meleset dari proyeksi awal yang ditargetkan mencapai 20.000 barel pada pertengahan 2008. Adapun total produksi minyak selama ini baru mencapai 1 juta barel lebih.
Molornya target produksi minyak oleh Exxon Mobil, selaku operator, mengundang reaksi sejumlah pihak, termasuk pemerintah pusat yang diwakili oleh Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Pemerintah menilai Exxon Mobil tidak mampu merealisasikan proyeksi produksi yang disepakati bersama antara operator dan pemerintah dalam Join Operating Agreement (JOA).
Pemerintah berang karena melesetnya target produksi minyak Blok Cepu bisa mempengaruhi beberapa hal. Diantaranya tersendatnya pasokan kebutuhan energi minyak nasional, mengingat diproyeksikannya minyak Blok Cepu bisa memasok 30% kebutuhan energi minyak dalam negeri. Selain itu, kemunduran target produksi juga membuat biaya produksi (Cost Recovery) membengkak dan juga memperlambat penerimaan dana bagi hasil (DBH) oleh pemerintah daerah.
Bagi pusat, molornya target produksi minyak ini sangat merugikan. demikian halnya bagi Pemprop JawaTimur dan Pemkab Bojonegoro, mengingat sebagian besar lokasi sumur minyak berada disana. Semakin produksi mundur, semakin lambat mereka menerima DBH yang nilainya tentu besar.
namun bagi Warga Jawa Tengah, termasuk Kabupaten Blora, kemunduran ini merupakan kesempatan untuk melakukan penataan ulang dan memperjuangkan perubahan mekanisme bagi hasil yang ternyata menyimpan masalah besar jika saat ini direalisasikan apa adanya.
BUMD
Molornya target produksi minyak oleh Exxon Mobil, selaku operator, mengundang reaksi sejumlah pihak, termasuk pemerintah pusat yang diwakili oleh Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Pemerintah menilai Exxon Mobil tidak mampu merealisasikan proyeksi produksi yang disepakati bersama antara operator dan pemerintah dalam Join Operating Agreement (JOA).
Pemerintah berang karena melesetnya target produksi minyak Blok Cepu bisa mempengaruhi beberapa hal. Diantaranya tersendatnya pasokan kebutuhan energi minyak nasional, mengingat diproyeksikannya minyak Blok Cepu bisa memasok 30% kebutuhan energi minyak dalam negeri. Selain itu, kemunduran target produksi juga membuat biaya produksi (Cost Recovery) membengkak dan juga memperlambat penerimaan dana bagi hasil (DBH) oleh pemerintah daerah.
Bagi pusat, molornya target produksi minyak ini sangat merugikan. demikian halnya bagi Pemprop JawaTimur dan Pemkab Bojonegoro, mengingat sebagian besar lokasi sumur minyak berada disana. Semakin produksi mundur, semakin lambat mereka menerima DBH yang nilainya tentu besar.
namun bagi Warga Jawa Tengah, termasuk Kabupaten Blora, kemunduran ini merupakan kesempatan untuk melakukan penataan ulang dan memperjuangkan perubahan mekanisme bagi hasil yang ternyata menyimpan masalah besar jika saat ini direalisasikan apa adanya.
BUMD
Sebelum Megaproyek ini dilaksanakan, masyarakat dan Pemprop Jateng, terlebih masyarakat dan Pemkab Blora, menaruh harapan besar. Proyek ini diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan ekonomi daerah.
Blora yang hingga kini menjadi Kabupaten termiskin di Jateng dengan pendapatan perkapita hanya Rp. 3,3 Juta berharap proyek ini bisa membantu mengeluarkan masyarakat dari belenggu kemiskinan. Begitu halnya dengan daerah-daerah lain di Jateng yang berharap kecipratan berkah Blok Cepu berupa Sharing DBH dan Multiplier Effect eksploitasi itu.
Harapan ini sebenarnya tidak muluk-muluk. Sebab ada dua sumber pendapatanyang bisa diproleh Jatengdan Blora jika proyek ini berjalan. Pertama sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemprop bisa memperoleh bagi hasil 3 %, Kabupaten Blora 6 %, Kabupaten Lain di Jateng 6% dan 0,5% untuk pendidikan di Jateng. Tentu prosentase ini sangat ini sangat bernilai mengingat Blok Cepu diperkirakan mempunyai cadangan 1,4 milliar barel minyak dan 2 trilliun kaki kubik gas bumi. Sementara kontrak kerja sama (KKS) akan berlangsung sampai tahun 2035. Kedua, sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pemerintah daerah bisa memiliki Participating Interest (PI) dalam KKS 10 % yang akan dikelola oleh badan usaha milik daerah (BUMD). setelah dinegoisaaikan, Blora memiliki 2,1% PI, Jateng 1,0%, dan sisanya milik Bojonegoro 4,4% serta Jatim 2,2%.
hal ini pulalah yang akhirnya mendasari Pemkab Blora membentuk BUMD Blora Patragas Hulu (BPH) dan Pemprop Jateng membentuk BUMD PT Sarana Patra Hulu Cepu (SPHC). Pada tahap awal, Blora harus mengucurkan modal Rp. 700 miliar dalam bisnis ini dengan menggandeng Financial Partner dan jateng juga mengucurkan dana sekitar 350 miliar. Jumlah ini masih akan bertambah mengingat dana tersebut hanya digunakan untuk membiayai produksi sumur Banyuurip di Bojonegoro, sementara sumur-sumur lain belum belum dihitung kebutuhan dananya.
Setelah setahun lebih Blok Cepu berproduksi, tidak semua mimpi serta harapan masyarakat Jateng dan Blora terpenuhi. Bagi hasil yang diterima daerah belum bisa direalisasikan sepenuhnya. jateng dan Blora baru menerima trnasfer pembagian keuntungan dari PI yang nilainya sangat kecil, yaitu Rp. 2,7 M untuk Jateng dan untuk Blora sebesar 5,4 M pada Desember 2009.
Untuk kasus Blora, dana 5,4 M tersebut masih akan dibagi dengan financial partner yang selama ini membiayai investasi Blok Cepu.
Kecilnya nilai pembagian keuntungan PI ini disebabkan masih rendahnya angka produksi minyak dari Blok Cepu. Jika produksi nanti telah mencapai puncaknya yaitu 165.000 barrel per hari yang diperkirakan mulai 2014, dalam setahun Jateng dan Blora bisa menerima pembagian keuntungan PI sebesar 4 Kali Lipat dari jumlah yang diterima saat ini.
Namun jumlah tersebut tetap kecil nilainya jika dibandingkan dengan jumlah modal yang telah disertakan dan besarnya harapan masyarakat Jateng ap proyek tersebut.
disnilah titik permasalahan itu akan muncul, dimana harapan masyarakat yang besar tidak terpenuhi dalam eksploitasi Blok Cepu.
Jateng, Blora dan kabupaten lain yang semula berharap mendapat bagi hasil migas daridana perimbangan, kini harus menahan harapan tersebut. Padahal, bagi hasil dari dana perimabangan itulah yang sebenarnya bisa mengangkat perekonomian Jateng dan Blora karena nilainya yang besar. Disinilah sebenarnya titik pangkal permasalahan bagi hasil blok Cepu bagi Jateng, Blora dan Kabupaten lainnya.
Dalam Pasal 14 UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan daerah, disebutkan bahwa bagi hasil pertambangan migas diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang wilayahnya dieksploitasi.
Masalahnya saat ini eksploitasi minyak bumi baru dilaksanakan di sumur banyuurip yang masuk wilayah Bojonegoro wilayah Jatim. Sementara untuk sumur minyak dan gas bumi yang ada di blora baru memasuki tahap eksplrasi dan belum kapan diketahui kapan mulai tahap eksploitasinya. Disamping itu, cadangan migas memang sebagian besar (75%) berada diwilayah bojonegoro, dan sisanya ada di Blora. Jika peraturan bagi hasil diterapkan apa adanya, sudah pasti Jateng dan Blora dalam waktu dekat ini tidak akan mendapatkan bagi hasil pertambangan migas yang bersumber dari dana perimbangan. Padahal, selama ini harapan kita bersama, jateng dan Blora ikut mendapatkan kucuran bagi hasil dari dana perimbangan yang nilainya besar.
Jateng dan Blora hanya akan mendapatkan pembagian keuntungan PI yang nilainya kecil. Sementara bagi hasil pertambangan dari dana perimbangan hanya akan dinikmati oleh Jatim, Bojonegoro dan kabupaten-kabupaten lain di Jatim. Masyaraeng dan Blora hanya akan menerima dampak sosial dan lingkungan dari adanya kegiatan eksploitasi Blok Cepu.
Jika tidak diantisipasi sejak dini, kejadian seperti ini akan bisa memunculkan konflik sosial dan sentimen kedaerahan. Masyarakat Jateng dan Blora yang sudah menanamkan investasi besar akan dirugikan secara ekonomi. Sementara Kabupaten-kabupaten di Jatim tanpa mengeluarkan modal apa pun akan menerima bagi hasil pertambangan migas Blok Cepu dari hasil perimbangan.
Saat ini saja, di Kabupaten Blora mulai berkembang wacana untuk bergabung menjadi bagian dari propinsi Jatim. Sebab, masa KKS yang berlaku sampai tahun 2035 menjadikan Blora bisa menjadi makmur jika secara administratif berada diwilayah Propinsi Jatim. Selain itu, Blora juga sudah mengikutsertakan modal yang tidak sedikit.
Pemerintah pusat mestinya memandang persoalan ini sebagai masalah serius. Belum ada kata terlambat untuk mengatasinya. Beberapa langkah mestinya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menjembatani persoalan serius ini. Misalnya adalah meninjau ulang Pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2004 agar lebih memenuhi rasa keadilan di kedua propinsi.
Kalaupun ini dirasa berat dan memakan waktu yang lama, Depkeu harus melakukan terobosan hukum agar bagi hasil pertambangan dari dana perimbangan Blok Cepu bisa dinikmati oleh masyarakat dikedua propinsi. Terobosan itu misalnya dengan adanya deviasi terhadap UU Nomor 33 tahun 2004 atau perangkat hukum dibawahnya.Pemprop Jateng dan Pemkab Blora bisa mengajukan untuk mendapatkan bagi hasil sebesar 1% dari dana perimbangan yang dikucurkan oleh pemerintah pusat.
Langkah ini bukanlah hal mustahil. Sebab, kasus pertambangan migas di Blok Cepu memang berbeda dari eksplorasi di blok-blok lain. Wilayah Cepu meliputi dua Propinsi, Jateng dan Jatim sementara blok-blok lain biasanya hanya berada dalam satu wilayah propinsi saja. inilah yang seharusnya mendorong pemerintah pusat menerapkan kebijakan berbeda dalam kasus pertambangan blok Cepu.
Blora yang hingga kini menjadi Kabupaten termiskin di Jateng dengan pendapatan perkapita hanya Rp. 3,3 Juta berharap proyek ini bisa membantu mengeluarkan masyarakat dari belenggu kemiskinan. Begitu halnya dengan daerah-daerah lain di Jateng yang berharap kecipratan berkah Blok Cepu berupa Sharing DBH dan Multiplier Effect eksploitasi itu.
Harapan ini sebenarnya tidak muluk-muluk. Sebab ada dua sumber pendapatanyang bisa diproleh Jatengdan Blora jika proyek ini berjalan. Pertama sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pemprop bisa memperoleh bagi hasil 3 %, Kabupaten Blora 6 %, Kabupaten Lain di Jateng 6% dan 0,5% untuk pendidikan di Jateng. Tentu prosentase ini sangat ini sangat bernilai mengingat Blok Cepu diperkirakan mempunyai cadangan 1,4 milliar barel minyak dan 2 trilliun kaki kubik gas bumi. Sementara kontrak kerja sama (KKS) akan berlangsung sampai tahun 2035. Kedua, sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pemerintah daerah bisa memiliki Participating Interest (PI) dalam KKS 10 % yang akan dikelola oleh badan usaha milik daerah (BUMD). setelah dinegoisaaikan, Blora memiliki 2,1% PI, Jateng 1,0%, dan sisanya milik Bojonegoro 4,4% serta Jatim 2,2%.
hal ini pulalah yang akhirnya mendasari Pemkab Blora membentuk BUMD Blora Patragas Hulu (BPH) dan Pemprop Jateng membentuk BUMD PT Sarana Patra Hulu Cepu (SPHC). Pada tahap awal, Blora harus mengucurkan modal Rp. 700 miliar dalam bisnis ini dengan menggandeng Financial Partner dan jateng juga mengucurkan dana sekitar 350 miliar. Jumlah ini masih akan bertambah mengingat dana tersebut hanya digunakan untuk membiayai produksi sumur Banyuurip di Bojonegoro, sementara sumur-sumur lain belum belum dihitung kebutuhan dananya.
Setelah setahun lebih Blok Cepu berproduksi, tidak semua mimpi serta harapan masyarakat Jateng dan Blora terpenuhi. Bagi hasil yang diterima daerah belum bisa direalisasikan sepenuhnya. jateng dan Blora baru menerima trnasfer pembagian keuntungan dari PI yang nilainya sangat kecil, yaitu Rp. 2,7 M untuk Jateng dan untuk Blora sebesar 5,4 M pada Desember 2009.
Untuk kasus Blora, dana 5,4 M tersebut masih akan dibagi dengan financial partner yang selama ini membiayai investasi Blok Cepu.
Kecilnya nilai pembagian keuntungan PI ini disebabkan masih rendahnya angka produksi minyak dari Blok Cepu. Jika produksi nanti telah mencapai puncaknya yaitu 165.000 barrel per hari yang diperkirakan mulai 2014, dalam setahun Jateng dan Blora bisa menerima pembagian keuntungan PI sebesar 4 Kali Lipat dari jumlah yang diterima saat ini.
Namun jumlah tersebut tetap kecil nilainya jika dibandingkan dengan jumlah modal yang telah disertakan dan besarnya harapan masyarakat Jateng ap proyek tersebut.
disnilah titik permasalahan itu akan muncul, dimana harapan masyarakat yang besar tidak terpenuhi dalam eksploitasi Blok Cepu.
Jateng, Blora dan kabupaten lain yang semula berharap mendapat bagi hasil migas daridana perimbangan, kini harus menahan harapan tersebut. Padahal, bagi hasil dari dana perimabangan itulah yang sebenarnya bisa mengangkat perekonomian Jateng dan Blora karena nilainya yang besar. Disinilah sebenarnya titik pangkal permasalahan bagi hasil blok Cepu bagi Jateng, Blora dan Kabupaten lainnya.
Dalam Pasal 14 UU Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan daerah, disebutkan bahwa bagi hasil pertambangan migas diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang wilayahnya dieksploitasi.
Masalahnya saat ini eksploitasi minyak bumi baru dilaksanakan di sumur banyuurip yang masuk wilayah Bojonegoro wilayah Jatim. Sementara untuk sumur minyak dan gas bumi yang ada di blora baru memasuki tahap eksplrasi dan belum kapan diketahui kapan mulai tahap eksploitasinya. Disamping itu, cadangan migas memang sebagian besar (75%) berada diwilayah bojonegoro, dan sisanya ada di Blora. Jika peraturan bagi hasil diterapkan apa adanya, sudah pasti Jateng dan Blora dalam waktu dekat ini tidak akan mendapatkan bagi hasil pertambangan migas yang bersumber dari dana perimbangan. Padahal, selama ini harapan kita bersama, jateng dan Blora ikut mendapatkan kucuran bagi hasil dari dana perimbangan yang nilainya besar.
Jateng dan Blora hanya akan mendapatkan pembagian keuntungan PI yang nilainya kecil. Sementara bagi hasil pertambangan dari dana perimbangan hanya akan dinikmati oleh Jatim, Bojonegoro dan kabupaten-kabupaten lain di Jatim. Masyaraeng dan Blora hanya akan menerima dampak sosial dan lingkungan dari adanya kegiatan eksploitasi Blok Cepu.
Jika tidak diantisipasi sejak dini, kejadian seperti ini akan bisa memunculkan konflik sosial dan sentimen kedaerahan. Masyarakat Jateng dan Blora yang sudah menanamkan investasi besar akan dirugikan secara ekonomi. Sementara Kabupaten-kabupaten di Jatim tanpa mengeluarkan modal apa pun akan menerima bagi hasil pertambangan migas Blok Cepu dari hasil perimbangan.
Saat ini saja, di Kabupaten Blora mulai berkembang wacana untuk bergabung menjadi bagian dari propinsi Jatim. Sebab, masa KKS yang berlaku sampai tahun 2035 menjadikan Blora bisa menjadi makmur jika secara administratif berada diwilayah Propinsi Jatim. Selain itu, Blora juga sudah mengikutsertakan modal yang tidak sedikit.
Pemerintah pusat mestinya memandang persoalan ini sebagai masalah serius. Belum ada kata terlambat untuk mengatasinya. Beberapa langkah mestinya bisa dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menjembatani persoalan serius ini. Misalnya adalah meninjau ulang Pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2004 agar lebih memenuhi rasa keadilan di kedua propinsi.
Kalaupun ini dirasa berat dan memakan waktu yang lama, Depkeu harus melakukan terobosan hukum agar bagi hasil pertambangan dari dana perimbangan Blok Cepu bisa dinikmati oleh masyarakat dikedua propinsi. Terobosan itu misalnya dengan adanya deviasi terhadap UU Nomor 33 tahun 2004 atau perangkat hukum dibawahnya.Pemprop Jateng dan Pemkab Blora bisa mengajukan untuk mendapatkan bagi hasil sebesar 1% dari dana perimbangan yang dikucurkan oleh pemerintah pusat.
Langkah ini bukanlah hal mustahil. Sebab, kasus pertambangan migas di Blok Cepu memang berbeda dari eksplorasi di blok-blok lain. Wilayah Cepu meliputi dua Propinsi, Jateng dan Jatim sementara blok-blok lain biasanya hanya berada dalam satu wilayah propinsi saja. inilah yang seharusnya mendorong pemerintah pusat menerapkan kebijakan berbeda dalam kasus pertambangan blok Cepu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar